Mengungkap Mitos: Mi Instan Tidak Seburuk yang Kamu Kira
"Selagi dikemas dan ada izin Badan POM-nya, tidak lebih batas
kadaluarsanya, itu berarti aman," kata Hardinsyah saat ditemui dalam
peluncuran Indomie My Noodlez di kawaaan Sudirman, Jakarta, belum lama
ini.
Anggapan kalau mi sulit dicerna dan akan mengembang di usus pun juga tidak
dibenarkan oleh Hardin, sapaan akrab Hardinsyah. Katanya, jika hal tersebut
terbukti benar, setelah makan mi badan akan terasa lemas.
"Itu tidak benar.
Buktinya setelah makan Anda merasa berstamina kan, tidak lemas. Berarti dicerna
oleh tubuh," ujar dia. "Kalau setelah makan terus lemas,
organ tubuh pasti ada yang tidak benar, insulinnya tidak berguna dengan baik
atau makanan tidak dicerna dengan baik."
Ia justru mengatakan yang seringkali membuat mi menjadi tidak sehat dikonsumsi
adalah cara penyajiannya dan konsumsinya. Orang sering menganggap makan mi
cukup untuk memenuhi asupan makanan setiap hari karena makan mi membuat perut
cukup kenyang. Tapi, Hardin menegaskan mengandalkan mi instan
sebagai satu-satunya sumber makanan tidaklah dibenarkan.
Tubuh masih butuh asupan nutrisi lainnya untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang
setiap hari.
"Panduan gizi seimbang itu berarti, nikmatilah aneka ragam makanan setiap
hari. Sumber karbohidrat sudah dari mi, berarti harus ditambah sayur, serat,
dan protein.Tapi, ini bukan untuk mengajarkan setiap hari makan mi. Itu juga
tidak sehat," kata dia.
Hardin menegaskan, selagi dimakan beragam, mi tidak bermasalah buat tubuh.
Apalagi kini mi sudah diperkaya dengan kandungan vitamin. Namun dalam
konsumsinya tetap saja tidak boleh mengandalkan mi saja.
"Harus makan sumber protein, seperti buah, sayuran, ikan dan daging. Itu
penting karena ada keragaman. Kalau tidak, ya tidak terpenuhi
kebutuhannya," ujar Hardin.
Bahaya Tersembunyi
Kontras dengan apa yang diungkapkan Hardinsyah, studi yang baru diterbitkan
dalam Journal of Nutrition menyebutkan mereka yang mengonsumsi mi instan
memiliki risiko signifikan lebih besar terserang sindrom metabolik,
dibandingkan yang hanya mengonsumsi sedikit.
Mereka yang mengonsumsi mi instan lebih dari dua kali seminggu, 68 persen lebih
mungkin terserang sindrom metaboli, yakni, sekelompok gejala seperti obesitas,
tekanan darah tinggi, peningkatan kadar gula darah yang tinggi, peningkatan
trigliserida yang tinggi, dan tingkat kolesterol HDL yang rendah.
Dalam sebungkus mi instan, terkandung daftar panjang zat aditif, termasuk di
dalamnya, monosodium glutamat (MSG) yang bertanggung jawab atas rasa gurih pada
makanan favorit orang Indonesia tersebut. Zat tersebut menyebabkan
disfungsi dan kerusakan otak pada berbagai derajat, bahkan berpotensi memicu
atau memperburuk ketidakmampuan belajar, penyakit Alzheimer, Parkinson,
penyakit Lainya