Pentingya, Digitalisasi bagi Generasi Milineal
Mengasuh anak generasi digital ibarat memegang ponsel rendah baterai. Zaman kiwari, tak sedikit orang ua merasa tak berdaya untuk connected dengan anaknya sendiri, cemas aspirasinya tak didengarkan, dan takut momen emas anaknya lewat seperti kereta sementara orangtua seperti menonton di depan palang pintu perlintasan.
Kabar baiknya, ada powerbank yang bisa mengisi daya literasi kita untuk
terhubung dengan generasi digital. Ya, buku dengan judul persuasif. 'Ayo Nak!'
Menggali Pola Asuh bagi Generasi Digital. Sampulnya menggambarkan potret
keluarga ideal zaman sekarang: gawai digital digenggam, tetapi kedekatan
keluarga tak ditinggalkan. Bahkan alam, tanaman hijau dan hewan melebur
bersama. Melampaui ilustrasi stiker 'happy family' yang kerap ditempel di kaca
belakang mobil.
Buku karya Dr. Muhammad Faisal, seorang psikolog dan observer tren anak muda
ini mengulik perbedaan pola asuh antargenerasi. Dia berkolaborasi dengan Tara
Talitha. Pada pembahasan awal, kita diajak memahami tantangan, tuntutan,
cita-cita, dan nilai generasi digital. Pola parenting generasi Alpha-Beta yang
sezaman dengan para pendiri republik seperti Soekarno menekankan disiplin dan
kerja keras. Generasi yang dibesarkan pada 1980-an diasuh dalam pola yang
memfokuskan pada etos kerja, kejujuran, dan dispilin. Masa itu topik passion
belum keluar dari rahim diskusi pola asuh anak.
Baru setelah era milenium pertama 2000-an, pengalaman krisis moneter dunia dan
kemudian di Indonesia lahir era Reformasi membawa kesadaran baru. Krisis
menuntut generasi bermental cerdas dan kreatif. Pada masa inilah, do what you
love mendapat panggung, seperti dikotbahkan oleh Steve Job.
Paling kentara adalah soal pilihan. Sukses bagi generasi terdahulu adalah
menjadi dokter, PNS, atau bekerja perusahaan ternama. Pintu masuknya adalah
diterima di sekolah favorit. Begitu internet dan medsos menjadi ritual harian,
pilihan karier dan pendidikan begitu beragam. Ruang kompromi anak dengan
orangtua menciut. Atas nama passion, dunia industri dibuat geleng-geleng kepala
bertemu generasi yang gampang resign dan dan plintat-plintut.
Sayangnya, buku ini tidak mendiskusikan realitas adanya suara para generasi
digital yang merasa dirinya distigma. Tidak ada sajian data pilihan karier
generasi digital. Menarik misalnya ketika kita cek jumlah pendaftar seleksi
CPNS 2024 hari ini telah melampaui tiga juta sesuai rilis BKN.
Sukses bagi anak-anak sekarang lebih di-approve teman sebaya. Sukses dimaknai
dengan memamerkan tubuh, vacation, mengkuti tren. Singkat kata, perfeksionisme
menjadi indikator sukses. Hal ini dianut pula oleh banyak orangtua. Peran
orangtua bergeser menjadi pelayan. Takut anak tidak bahagia. Bukan sebagai
pemberi nasihat atau warisan wejangan nilai-nilai kegigihan, jujur, semangat,
dan prinsip agama.
Penjelasan gap lintas generasi dikemas oleh penulis dengan apik. Rujukan buku
ilmiah dan jurnal dilengkapi hasil wawancara bersama tokoh yang mewakili pola
parenting sesuai pengalaman generasinya. Sekalipun para tokoh itu punya
otoritas, namun sedikit meninggalkan kesan seakan succes story mereka yang
elit. Bagaimana dengan sudut pandang dari orang biasa-biasa saja?
Kembali ke Komunitas
Generasi Indonesia tumbuh di tengah masyarakat Bhinneka Tunggal Ika. Belum lagi
secara global kita berinteraksi dengan beragam budaya. Karenanya, pola asuh
eksklusif tak lagi relevan.
Faisal memang suka dengan konsep 'kembali ke akar'. Gagasan pola asuh berakar
pada ide tokoh dan budaya Nusantara. Tokoh yang menjadi acuan antara lain Bung
Hatta dengan konsep kebhinekaan dalam kehidupan masa depan. Praktik pola asuh
di Indonesia sejatinya selaras dengan praktik alloparenting yang digemakan
Edward O. Wilson pada 1957. Pola asuh yang melibatkan keluarga inti,
kakek-nenek, kerabat, bahkan tetangga. Pengasuhan berbasis komunitas
memungkinkan kemampuan adaptasi anak yang lebih kaya, karena adanya pola
komunikasi yang berbeda.
Selain itu, parenting jangan terjebak dalam kekakuan. Di tengah kepungan
informasi digital, orangtua perlu menemukan ulang akarnya, yaitu dorongan
fitrah orangtua atau disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai paedadogis
instinct.
Ada beberapa isu spesifik terkait karakteristik anak-anak digital di antaranya
pemahaman tentang pertemanan. Kualitas pertemanan lebih penting daripada jumlah
pertemanan, sembari mengutip sosiolog Prof. Robin Dunbar bahwa sepanjang
evolusi manusia, seorang individu rata-rata hanya sanggup memiliki hubungan
berkualitas dengan sekitar lima orang saja. Jumlah teman digital native sering
diukur dengan jumlah teman digital, jumlah follower atau banyaknya likes. Teman
tidak lagi berbasis proximity atau kedekatan geografis.
Padahal untuk bahagia, seorang anak lebih butuh hubungan berkualitas dibanding
banyak teman atau memiliki teman populer sehingga mereka dapat menjadi diri
sendiri. Pola asuh komunitas menjadi adalah solusinya. Dimulai dengan peran
orangtua sebagai sahabat, tidak protektif atau posesif agar tercipta bonding
emosional.
Ayah Baru
Jika dibaca oleh seorang ayah, buku ini akan mengajak meng-update peran
dirinya. Pola asuh terdahulu mencitrakan ayah sosok yang sedikit bicara,
berjarak dan berwibawa. Ayah seolah juri yang menilai performa anak.
Tuntutan ayah hari ini berbeda. 'Ayah baru' adalah ayah yang terlibat dalam
tumbuh kembang dan menjadi pelindung emosional seperti ibu. Saat peer group dan
medsos menjadi acuan moral dan etos, justru ayah harus menjadi sosok yang bisa
didengarkan anak. Jelas, targetnya bukan lagi kepatuhan.
Isu lain adalah terkait kesibukan orangtua. Mobile games, kecerdasan buatan,
medsos seolah menjadi pengasuh digital. Alih-alih menganjurkan detoks digital
yang tidak realistis, jalan keluarnya adalah hidup seimbang. Kiatnya sederhana,
yaitu menyediakan waktu untuk ngobrol sebagai penerapan mindfulness. Agar anak
mempunyai keterampilan fokus pada waktu, kondisi saat ini dan di sini.Tantangan
berikutnya adalah boring, mager dan bete sebagai ekspresi rasa bosan. Mudah
resign, pindah sekolah atau jurusan bisa jadi wujud lari dari sebuah situasi.
Sarapan dan tidur siang adalah nasehat yang selalu relevan. Idealisme kesehatan
membutuhkan komitmen kuat. Maka, orangtua harus minum vitamin N. Alias berkata
No atau 'tidak' ketika anak banyak ngemil jajanan miskin nutrisi. Pola asuh
digital harus memihak pula pola makan sehat. Jadi, jangan permisif dan mudah
menyerah atas keinginan anak.
Pola Asuh Nusantara
Pola asuh tidak sekadar urusan mikro terkait anak, melainkan masalah makro yang
terhubung dengan pasar global, tren, modernisasi, globalisasi, dan nilai-nilai
zaman. FOMO, flexing, dan perfeksionisme adalah tiga kultur digital yang
menjadi tantangan orangtua digital perlu hadir, bahkan kehadirannya lebih penting
dibanding saat zaman pra internet.
Sama dengan akarnya dahulu, pola asuh kekinian harus memprioritaskan mental,
karakter, dan keribadian anak. Semestinya anak tumbuh kembang secara holistik
dengan mengembalikan interaksi anak dengan alam, memberikan ruang kepada anak
untuk memecahkan masalahnya sendiri. Contoh kecil, bagaimanapun anak-anak harus
diberi ruang untuk menggunakan pisau. Pengalaman terluka akan mendidik mereka
tentang risiko.
Pendidikan karakter memberi ruang anak tumbuh mandiri dan bertangung jawab
ketika menghadapi risiko di kemudian hari. Praktik ini dicontohkan ada pada
komunitas Badui, di mana anak-anak lazim membawa golok untuk bertani.
Sayangnya, dalam buku ini porsi dan contoh kearifan pola asuh Nusantara ini
sangat sedikit. Namun, akan lebih disayangkan lagi, kalau orangtua, pendidik,
penyuluh, bahkan pengambil kebijakan yang menyasar generasi digital melewatkan
buku ini.
Meskipun pola asuh Nusantara disebut-sebut, tetapi istilah tersebut tidak
di-bold. Jika boleh disimpulkan, alasannya adalah tak ada pola asuh yang paling
ideal atau paling unggul. Begitu selesai dibaca, buku ini malah meninggalkan
tugas. Pantas saja tertera kata 'menggali' dalam judulnya.
Untungnya, alih-alih mengajak kita mengkhayal menjadi orangtua ideal, buku ini mengajak
belajar dari generasi dahulu dibesarkan, beradaptasi dengan tantangan terkini
dan mengambil hikmah beragam parenting lintas global. Orientasinya bukan
sukses, melainkan berproses menjadi orangtua dengan berbagi bersama anak-anak
generasi digital mempraktikkan nilai disiplin, mandiri, dan tanggung jawab.
Pola asuh bagi generasi digital tidak dijalankan dengan mental lowbat. Tugas
pertama orangtua adalah dilarang cemas. Jika cemas, bagaimana orangtua dapat
mengajak anak-anak tumbuh berkembang menjadi generasi emas.